Gangguan Jantung Pasca Cidera Tulang Belakang

Susunan Saraf Pusat
Cedera tulang belakang adalah suatu kondisi yang sangat menurunkan kualitas hidup penderita. Bukan hanya karena dapat mengganggu fungsi motorik dan sensorik, pada tahap lanjut juga mengganggu fungsi otonomik. Selain itu, cidera tulang belakang meningkatkan beban ekonomi di masyarakat. Di Amerika Serikat, diperkirakan beban pengobatan cidera tulang belakang mencapai US $9,7 miliar pertahun (2006).

Prevalensi cidera tulang belakang diperkirakan mencapai 280 juta dan 681 orang per satu juta penduduk di Finlandia dan Australia. Sementara insiden di Amerika Serikat bervariasi dari 27 sampai 81 kasus per satu juta penduduk per satu tahun.

Berdasarkan pengalaman, komplikasi ginjal dan pernafasan merupakan kejadian yang paling sering ditemukan pada penderita cidera tulang belakang, yang kemudian mengakibatkan kematian bagi penderita. Isu terbaru: cidera tulang belakang, baik akut maupun kronis, ternyata dapat menimbulkan komplikasi terhadap jantung.


Pengelolaan fungsi kardiovaskuler merupakan tantangan tersendiri pada cidera tulang belakang akut. Dengan pertimbangan, syok neurogenik dapat memperburuk ketidakstabilan hemodinamik yang disebabkan hipovolemia. Selain itu, orang yang menderita kelumpuhan berisiko mengalami thrombosis bena dalam dan emboli paru, terutama pada penderita cidera tulang belakang akut.

Kontrol Supra Spinal Sistem Kardivasculer
Di otak, sirkuit neral di hipothalamus mendapat input dari berbagai bagian otak. Kemudian diproses dan akhirnya memodulasi respon kardiovaskuler terhadap berbagai stimulus berbeda. Setidaknya, ada 2 bagian hipotalamus yang menendalikan kardiovaskuler : dorsomediahipothalamus dan nukleus paraventrikuler inti.

Aktifasi neuron di dalam dorsomedialhypotalamus, membangkitkan berbagai respon termasuk meningkatnya aktifitas saraf simpatetik di jantung, ginjal dan organ lain. Aktifasi vasomotor simpatetik terutama melalui rostral ventrolateral medulla (dan sedikit melalui raphe pallidus), akan mempercepat detak jantung.

Reseptor serotonin 1A pusat dan asam Y("gamma")-aminobutyric, yang teridentifikasi pada rostral ventrolateral medulla dan raphe pallindus, memiliki peran penting dalam menodulasi respon kardiovaskuler terhadap berbagai stimulus.

Selain aktivitas saraf dorsomedial hipothalamus, input neuron-neuron nukleus paraventricular dalam hipotalamus, juga berperan penting dalam regulasi sistim kadiovaskuler. Saraf vagus, jalur aferen menuju otak untuk reseptor volum atrial, memiliki sinapsis pertamanya dalam nucleus tractus solitaries dari medulla oblongata.

Input dari nucleus tractus solitarius membangkitkan aktivitas neuronal dari nukleus paraventrikuler, termasuk neuron-neuron magnocellular peptidergic neurohypophiseal yang mensekresikan oxytocin dan vasopresin. Penelitian-penelitian selelumnya menyatakan, neuron-neuron vasopresin yang memproyeksikan pada tulang belakang memberikan pengaruh eksitatori pada saraf preganglion simpatetik ginjal, dan secara tonik dihambat oleh suatu jaringan saraf asam Y("gamma")-aminobutyric dalam nukleus paraventricular.

Terlebih lagi, respon terhadap sinyal volum plasma dikaitkan dengan aktifasi c-fos gen di beberapa neuron parvocelluler yang memproyeksikan ke daerah tulang belakang dan brainstem, terlibat dalam regulasi kardiovaskuler. Stimulasi berbagai lokasi di dalam subnuklei nukleus paraventrikuler, diketahui meningkatkan detak jantung melalui aktifasi jalur oxytocin nukleus paraventrikuler, yang terproyeksi pada tulang belakang. Juga, pemeriksaan menggunakan elektrofisiologi mengindikasikan, oxytocin memberikan respon eksitatori neuron preganglionic simpatetik di tulang belakang torasik bagian atas dari tikus penelitian dan mempengaruhi aktivitas neuron preganglion simpatetik dalam tulang belakang torasik bagian bawah.

Penelitian eksperimental sebelumnya pada tikus menunjukkan, stimulasi aferen vagal kariak atau peptide natriuretik atrial mengaktifkan neuron nukleus paraventricular, yang diproyeksikan ke tulang belakang. Sedangkan ekspansi volum plasma atau stimulasi selektif penghubung venaatrial, menyebabkan peningkatan detak jantung pada anjing dan tikus yang dimediasi saraf simpatetik. Hal itu menyebabkan penurunan secara simultan aktivitas saraf simpatetik terhadap ginjal dan vasodilatasi ginjal, serta peningkatan aliran urin dan pengeluaran sodium.

Peran Tulang Belakang Dan ANS pada Kontrol kadiovakuler
ANS berperan penting dalam cross talk antara otak dan sistem kardiovaskuler, untuk mempertahankan keseimbangan dinamik internal milieu (atau homeostatis). SNS dan sistem saraf parasimpatetik, adalah 2 divisi ANS yang mengintegrasikan jalur refleks kompleks, termasuk reseptor sensor, jalur aferen, pusat integrasi dalam sistem saraf pusat, jalur eferen dan organ target.

Saraf aferen simpatetik yang berasal dari ergoreseptor (mekanoreseptor) dalam otot rangka, kemoreseptor arterial dan reseptor kardiopulmonari, memberikan input eksitatori ke nukleus tractus solitarius. Saraf aferen parasimpatetik berasal dari baroreseptor lengkungan aorta dan arteri karotid, dan reseptor pembuluh darah sistemik dan paru, pembuluh vena besar dan pembuluh arteri besar menghambat input ke nukleus tractus solitarius melalui saraf vagus dan saraf glasopharyngeal.

Jalur eferent pad kedua bagian ANS, mencakup saraf-saraf preganglion adalah interneurons yang berasal dari saraf pusat, melintang akar-akar ventral dan berakhir di ganglion ANS di luar sistem saraf pusat. Neuron postganglion adalah neuron efektor yang berasal dari ganglion ANS, dan berakhir pada organ efektor seperti jantung dan pembuluh darah.

Sementara tubuh-tubuh sel neuron preganglion berada di otak atau tulang belakang, tubuh-tubuh sel neuron post ganglion terletak pada ganglion otonomik yang berada dekat dengan tulang belakang atau organ-organ efector. Serat preganglion simpatetik mungkin memiliki sinapsis di ganglia paravertebral rantai simpatetik, yang terletak secara lateral dengan tubuh-tubuh vertebral atau berdekatan dengan viscera dalam ganglia prevertebral.

Walau seluruh neuron preganglion simpatetik memiliki sinapsis di rantai simpatetik, termasuk superior cervical ganglion, middle cervical ganglion, stellate ganglion dan thoracic paravertebral ganglia di daerah kranial sampai diafragma, serat preganglion simpatetik menuju perut dan pelvis melintasi ganglia paravertebral, tanpa sinapsis untuk membentuk saraf splanchnic.

Serat saraf preganglion membentuk sinapsis dengan serat postganglion simpatetik dalam ganglia kolateral, sebelum bergabung dengan arteri besar dalam perjalanannya menuju organ efektor. Outflow saraf simpatetik menuju efektor di daerah splanchnic sebagian besar berasal dari T-5 sampai T-9, yang membentuk saraf splanchinic yang lebih besar menuju ganglion celiac. Neuron-neuron postganglion dari SNS juga membentuk saraf viseral (misalnya : saraf jantung), dan menginervasi pembuluh darah dan kulit.

Input simpatetik dan parasimpatetik akan mempengaruhi fungsi jantung. Neuron preganglion simpatetik pada jantung, keluar tulang belakang dari T1 sampai T6 untuk membentuk sinapsis dengan neuron postganglion simpatetik kardiak di ganglion servikal tengah dan ganglion stellate. Neuron-neuron parasimpatetik dari nukleus motor dorsal dari saraf vagus dan nuklues ambiguous pada medulla oblongata, mencapai jantung melalui pengaturan kembali saraf laryngeal dan vagus. Neuron parasimpatik sinapsis dengan sel-sel post ganglion, terletak di dalam epikardium atau dalam dinding kardiak yang berdekatan dengan sinoartrial atau atrioventricular node.

Secara klinis, hiperstimulasi saraf vagus kanan membuat jantung mudah mengalami bradiaritmia. Sementara, hiperstimulasi saraf vagus sebelah kiri mempengaruhi jantung untuk mengalami sumbatan atrioventrikular.

Patofisiologi Terjadinya Komplikasi Kardiovaskuler setelah Cidera Tulang Belakang
Tulang belakang yang sempurna diperlukan untuk menopang atau mengotrol organ tubuh dan isi perut. Termasuk, jantung dan pembuluh darah. Derajat ketidakmampuan kardiovaskuler simpatetik, terkait langsung dengan lokasi dan tingkat keparahan cidera tulang belakang.

Hubungan antara disfungsi kordiovaskuler dan tingkat keparahan cidera, ditunjukkan dalam beberapa studi klinis dan dalam pemeriksaan postpartum pada jaringan saraf tulang belakang manusia. Beberapa poin penting dari penelitian tersebut: Pada orang dengan cidera tulang belakang servikal yang mengalami hipotensi, bradikardia dan episode disrefleksia otonomik pada pasca cidera stadium akut memiliki daerah degenerasi yang lebih ekstensif dalam white matter tulang belakang, dibandingkan cidera tulang belakang servikal tanpa disfungsi kardiovaskuler signifikan.

Cidera tulang belakang servikal atau toraksi tinggi (T-6 atau diatasnya) yang parah, mengganggu kontrol simpatetik supraspinal dari fungsi kardiovaskuler, yang meliputi aliran darah koroner, kontraktilitas jantung dan juga denyut jantung. Pada kelompok pasien dengan cidera tulang belakang, respon kardiak parasimpatetik melalui saraf vagus merupakan satu-satunya kontrol supraspinal jantung, yang menyebabkan bradikardia dan aritmia jantung lainnya. Sebagian denervasi simpatetik jantung, menyebabkan disfungsi kardiovaskuler yang lebih ringan pada orang dengan cidera tulang belakang minor, dan cidera antara T-1 dan T-6.

Meski dengan respon kardiovaskuler yang normal dapat terjadi pada pasien dengan cidera tulang belakang caudal, hingga tingkat T-6, respon vasomotor peripheral yang tidak normal karena regulasi terdesentrasilisasi tonus vaskuler dan kontrol tekanan darah, terlihat pada penderita cidera tulang belakang yang parah pada T-6. Selain abnormalitas tekanan darah tersebut, pasien dengan cidera tulang belakang yang berat pada T-6 atau cidera cranial, dapat mengalami episode disrefleksia otonomik, yang ditandai peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba ketika ada faktor pimicu.

Meski patofisiologi dari kontrol kardiovaskuler abnormal pada pasien dengan cidera tulang belakang akut tidak semuanya dipahami, telah diidentifikasikan 5 elemen sirkuit otonomik sebagai faktor utama yang berkontribusi. Diataranya :
  1. Gangguan yang diakibatkan menurunnya fungsi jalur kardiovaskuler (vasomotor).
  2. Perubahan morphological jantung dan saraf-saraf vasomotor preganglion sipatetik.
  3. Pengecambahan dan pembentukan potensi sinapsis yang tidak sesuai dengan interneurons tulang belakang.
  4. Eferen tulang belakang yang abnormal.
  5. Adanya perubahan transmisi neurovaskuler simpatetik dan respon otot halus.
Mengingat banyaknya perubahan anatomis yang terjadi di tahap sub akut kronis setelah cidera tulang belakang, gangguan jalur kardiovaskuler adalah faktor penyebab terbesar kontrol kardiovaskuler abnormal, yang ditemukan selama stadium akut setelah cidera tulang belakang berat di T-6 atau tingkat kranial yang lebih tinggi.

Gangguan pada jalur simpatoeksitatori ini dikaitkan dengan beberapa abnormalitas kardiovaskuler berat, dalam sebuah penelitian dan kajian klinikopatologi pada manusia. Dalam sebuah pemeriksaan immunohistokomia terhadap jaringan saraf tulang post mortem, individu yang mengalami hipotensi hipotension berat, bradikardia, dan disrefleksia otonomik selama tahap akut setelah cidera tulang belakang servikal menunjukkan penurunan akson signifikan di dalam aspek dorsal lateral funiculi (area I) dari beberapa bagian tulang belakang.

Desentralisasi simpatettik menyebabkan gangguan regulasi fungsi otonomik dengan berbagai konsekuensi klinisnya. Hipotension dan bradikardia persisten,yang umumnya ditemukan pada pasien dengan cidera tulang belakang akut di tingkat servikal atau torasik tinggi, adalah komponen kunci syok neurogenik.

Dampak syok meurogenik dilaporkan lebih intense dan bertahan lama pada manusia (sampai 5 minggu), setelah terjadinya cidera tulang belakang akut. Yang perlu dicatat, syok meurogenik pada cidera tulang belakang akut harus dibedakan dengan "syok tulang belakang", yang ditandai dengan penurunan fungsi somatic dan/atau reflex tulang belakang dengan durasi dari beberapa hari sampai 6 minggu pasca cidera.

Kecenderungan untuk terjadinya thromboembolik setelah cidera tulang belakang
Venous thromboembolism, termasuk DVT dan PE, merupakan aspek penting penyebab komplikasi kardiovaskuler secara  umum pada pasien cidera tulang belakang akut. Meski mekanisme belum diketahui secara pasti, faktor resiko VTE pada pasien cidera tulang belakang akut mencakup stasis, hiperkoagulabilitas dan cedera intimal. Immobilisasi merupakan faktor resiko utama VTE, khususnya pada pasien tetraplegic.

Mengingat kemungkinan terjadinya VTE setelah cidera tulang belakang, dapat terjadi sejalan dengan berjalannya waktu, telah diajukan beberapa mekanisme terjadinya VTE. Antara lain : perubahan aktivitas fibrinolitik, fungsi platelet abnormal dan variasi sirkadian, untuk memperbaiki parameter hemostatik dan fibrinolitik. Sebagai catatan, beberapa pasien dapat mengalami spastisiti, yang dapat memperbaiki perfusi darah pada ekstrimitas dan karenannya mencegah pembentukan thrombus. Tetapi, spastisiti  tidak dapat menjelaskan penurunan frekuensi VTE pada sebagian besar pasien dengan cidera pada tulang belakang kronis, ketika dibandingkan dengan 3 minggu pasca cidera.

Sumber : ETHICAL DIGEST
 







0 comments:

Post a Comment