Sindrom Nefrotik Pada Anak

Anak Menderita SN
Sindrom nefrotik (SN), dikenal juga sebagai nephrosis adalah suatu kondisi yang ditandai adanya proteinuria dengan nilai dalam kisaran nefrotik, hiperlipidemia dan hipoalbuminuria. Pada orang dewasa, proteinuria dalam nilai kisaran nefrotik, ditandai eksresi protein sebesar 3,5 g atau lebih per hari. Pada anak-anak, menentukan nilai kisaran nefrotik menjadi masalah. Sebab, anak-anak memiliki besar tubuh yang sangat bervariasi.

Proteinuria kisaran nefrotik pada anak-anak adalah eksresi protein lebih dari 40 mg/m2/jam. Karena pengumpulan urin 24 jam tidak bisa diandalkan dan menjadi beban, terutama pada anak-anak yang berusia sangat muda. Banyak dokter anak akhirnya mengandalkan pengambilan sampel urin di pagi hari, untuk menghitung eksresi protein dengan rasio protein/kreatinin. Rasio protein/kreatinin lebih dari 2-3 mg/m2 mengindikasikan proteinuria kisaran nefrotik dan disetarakan dengan hasil pengumpulan urin 24 jam.

Sindrom nefrotik adalah suatu konstelasi temuan klinis, sebagai hasil dari keluarnya protein melalui ginjal secara massif. Karenanya, sindrom nefrotik sendiri sebenarnya bukan penyakit, tetapi manifestasi berbagai penyakit glomerular berbeda. Penyakit-penyakit ini bisa bersifat akut dan menetap, seperti glomerulonefritis pasca infeksi atau penyakit  kronis dan progresif, seperti focal segmental glomerulosclerosis (FSGS)

Penyakit glomerular yang menyebabkan sindrom nefrotik, umumnya bisa dibagi menjadi etiologi primer dan sekunder. Sindrom nefrotik primer, juga dikenal sebagai sindrom nefrotik idiopatik, disebabkan penyakit glomerular intrinsik pada ginjal dan tidak disebabkan penyakit sistemik. Ada berbagai macam lesi glomerular yang bisa ditemukan pada SNI, mencakup minimal change nephrotic syndrome (MCNS), focal segmental glomerulosclerosis (FSGS), membranous nephropathy (MN), membranoproliferative glomerulonephritis (MPGN), proliferasi mesangial difusi dan lainnya.

Berdasarkan definisi, sindrom nefrotik sekunder disebabkan etiologi di luar ginjal. Penyebab sindrom nefrotik sekunder, mencakup Henoch-Schonlein purpura (HSP), systemic lupus erythematosus, diabetes memmlitus, syphhilis, human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis Bdan C, malignansi, vaskulitis dan paparan obat (heroin, merkuri dan lainnya)

Sindrom Nefrotik pada Anak

Sindrom nefrotik pada anak dibagi menjadi sindrom nefrotik yang masih sensitive terhadap steroid dan yang sudah resisten terhadap steroid, Karena, respon terhadap steroid memiliki korelasi yang besar, dengan subtipe histologis dan prognosis penyakit. Penelitian besar sindrom nefrotik pada anak-anak, International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menemukan, sebagian besar anak dengan INS sebelum memasuki usia remaja mengalami MCNS, memberi respon terhadap kortikosteroid. Sedangkan pada anak dengan FSGS, hanya 20% yang respon terhadap steroid.

Presentasi Klinis
Semua penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan kebocoran protein (khususnya albumin) ke dalam ruang Bowman, akan  menyebabkan terjadinya sindrom ini. Sindrom nefrotik idiopatik umumnya dialami anak berusia 1-6 tahun. Satu penelitian berbasis populasi, menemukan angka insiden sebesar 2/100.000 dan prevalensi 16/100.000.

Negara-negara di Asia tampak memiliki onset rata-rata yang lebih dini, 3,4 tahun, daripada negara-negara Eropa, yaitu 4.2 tahun. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi. Dan, merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat, antara tahun 1995-2000. Dibandingkan populasi lain, anak-anak keturunan Afrika-Amerika dan Hispanik memiliki angka insiden sindrom nefrotik yang lebih tinggi dan lebih virulen, dengan prognosis yang lebih buruk dan progresi penyakit yang lebih cepat menjadi gagal ginjal.

Sindrom nefrotik yang terjadi pada anak berusia lebih muda, biasanya lebih berat dan virulen. Keluhan edema yang berkembang selama beberapa minggu sebelumnya, sering dipicu oleh infeksi saluran nafas bagian atas yang mendahului onset edema sampai 2-3 hari. Pembengkakan periorbital dan iritasi kulit, sering disalah artikan sebagai reaksi alergi.

Edema pada akhirnya menjadi lebih tergeneralisasi, dengan asites dan penambahan berat badan secara capat. Perjalanan penyakit dan sejauh mana penyakit berkembang, dihubungkan dengan jumlah protein yang dieksresi dalam urinl Keluarnya protein melalui urin menyebabkan hipoalbuminuria, konsetrasi serum albumin di bawah 2,5 g/dl, dan retensi cairan. Pasien kadang juga mengalami hematuria mikroskopik, azotemia transient, peningkatan erythrocyte sedimentation rate dan hiperlipidemia. Pasien dengan sindrom nefrotik jenis progresif dan virulen dapat juga mengalami hipertensi, akibat peningkatan cidera ginjal.

Faktor-faktor seperti hematuria dini, hipertensi, penurunan fungsi ginjal, usia onset, riwayat kesehatan atau riwayat keluarga dengan nefritis dan besarnya keterlibatan glomerular saat dilakukan biopsy, dipertimbangkan dalam membuat diagnosis dan mengidentifikasikan faktor risiko kegawatan penyakit dan progresi sindrom nefrotik.

Akurasi biopsi jarum tunggal dalam mendiagnosa penyakit virulen, belum bisa diketahui. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan langsung, antara jumlah glomeruli dengan luka segmental atau focal hyalinosis dan berkembangnya gagal ginjal. Peneliti lain meyakini besarnya atau lokasi interstitial fibrosis memprediksi outcome klinis. Selain itu, peningkatan serum kreatinin atau kadar kolesterol pada saat onset penyakit, menyebabkan progresi menjadi penyakit ginjal lebih cepat.

Etiologi Sindrom Nefrotik
Etiologi Sindrom Nefrotik secara garis besar dapat dibagi 3 yaitu: Kongenital, glomerulopati primer/idiopatik dan sekunder akibat penyakit sistemik, seperti pada purpura Honoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nerfotik pada tahun pertama kehidupan, terlibih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan kengenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk.

Berdasarkan gambaran histopatologi ginjal, sebagian besar (80%) Sindrom Nefrotik idiopatik pada anak merupakan Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM), umumnya terjadi usia 1-6 tahun, dengan median umur onset 3 tahun. Kemungkinan SNKM sebagai etiologi, menurun dengan meningkatnya usia onset. Sedangkan kemungkinan etiologi lain, seperti glomerulonefritis membranoproliferatif dan nefropati membranosa, meningkat.

Dalam prakteknya, sebagian besar anak tidak menjalani biopsi ginjal pada menifestasi klinis Sindrom Nefrotik pertama kali. Namun, mereka langsung mendapat terapi empiris kotikosteroid. Penderita Sindrom Nefrotik yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroid, sangat jarang menjalani diagnosis patalogis anatomis. Karenanya, saat ini klasifikasi Sindrom Nefrotik (SN) lebih didasarkan pada respons klinik, yaitu Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid (SNSS) dan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS).

Komplikasi Sindrom Nefrotik yang Tidak Diobati
Sindrom nefrotik yang tidak diobati, dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Seperti hipovolemia, hipertensi, hiperlipidemia, hiperkoagulapati, keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan, dan anemia. Kolesterol plasma total dan kadar kolesterol low-density lipoprotein, mengalami peningkatan pada sebagian besar pasien. Penurunan kandungan mineral tulang dan gangguan penambahan tinggi badan linear, tampak membaik dengan menghentikan terapi imunosupresan, Kondisi ini lebih berhubungan dengan terapi, daripada kondisi penyakit.

Asites Kronis, jika tidak diobati, menyebabkan dilatasi vena pada dinding abdominal. Menyebabkan umbilical hernia, rectal prolapse, kesulitan bernafas, nyeri skrotum atau labia dan anasarca. Yang paling penting, pasien berisiko tinggi mengalami infeksi berat, seperti peritonitis primer, bakteremia, septikemia atau selulitis karena streptokokus pneumonia, E. Coli, dan organisme Klebsiella. Selain itu, penurunan fungsi kekebalan dapat mendahului infeksi virus, seperti campak atau varisela.

Pada pasien dengan bentuk penyakit yang lebih progresif dan resisten terhadap pengobatan (20% dari sindrom nefrotik pada anak-anak), seperti focal segmental glomerular sclerosis dan penyakit menbrane-proliferatif, dapat terjadi peningkatan tekanan darah persisten dan tidak terkendali. Perubahan-perubahan berikutnya pada status cairan, dapat menyebabkan oliguria dan peningkatan blood urea nitrogen dan risiko thrombosis. Bahkan juga pada mereka dengan glomeruli normal.

Hiperkoagulabilitas dapat terjadi akibat thrombocytosis: peningkatan konsentrasi plasma fibrinogen faktor V, VII, VIII dan X; peningkatan agregasi platelet dan percepatan generasi thromboplatin. Peningkatan koagulasi dapat menyebabkan thrombosis vena renal dan vena dalam atau vena sinus pusat. Karenanya, menyebabkan nekrosis dan kerusakan.

Selain itu, perkembangan dan pertumbuhan mengalami keterlambatan selama fase aktif nefrosis. Bagaimana pun, pertumbuhan normal secara tipikal kembali berlangsung setelah penyakit sembuh. Sementara, pasien yang tidak mendapatkan pengobatan berisiko tinggi mengalami anemia sebagai akibat hilangnya zat besi nelalui urin, gangguan biosintesis erythropoietin dan terapi angiotensinconverting enzyme (ACE) inhibitor.

Patofisiologi
Proteinuria dan Hipoalbuminemia
Tanda utama sindrom nefrotik idiopatik adalah proteinuria nasif, menyebabkan penurunan kadar albumin. Penyebab proteinuria belum diketahui. Tetapi sindrom nefrotik idiopatik diyakini memiliki patogenesis yang dikaitkan dengan sistim kekebalan. Bebagai penelitian menunjukkan regulasi abnormal subset sel T dan ekspresi faktor permeabilitas glomerular.

Bukti-bukti yang menunjukkan sindrom nefrotik idiopatik dimediasi oleh sistim kekebalan, ditunjukkan oleh kenyataan bahwa agen imunosupresif, seperti kortikosteroid dan agen alkylating, dapat meremisi sindrom nefrotik. Terlebih lagi, sindrom nefrotik diketahui bisa mengalami remisi ketika terjadi infeksi dengan virus campak, yang menekan imunitas yang dimediasi sel.

Suatu faktor dalam sirkulasi darah, mungkin berperan dalam berkembangnya proteinuria pada sindrom nefrotik idiopatik. Hal ini ditunjukkan dengan cepatnya perkembangan proteinuria pada rekuren sindrom nefrotik setelah transplantasi ginjal, perbaikan sindrom nefrotik pada pasien setelah plasmapheresis, dan induksi proteinuria pada hewan dengan plasma dari pasien dengan sindrom nefrotik idiopatik.

Meski demikian, sifat alamiah faktor ini tidak diketahui. Berbagai sitokin dan molekul telah terimplikasi. Termasuk interleukin (IL)-2, reseptor IL-2, IL-4, IL-12, IL-13, IL-15, IL-18, interferon Alfa, tumor growth factor (TGF) beta, vascular permeability factor, nuclear factor (NF)-kB, dan tumor necrosis factor (TNF)-alfa.

Hubungan respon alergi dengan sindrom nefrotik, juga menggambarkan peran sistim kekebalan pada sindrom nefrotik idiopatik. Sindrom nefrotik dilaporkan terjadi setelah reaksi alergi terhadap sengatan lebah, jamur, racun tumbuhan, debu rumah, sengatan ubur-ubur dan bulu kucing. Alergi makanan juga berperan dalam relaps sindrom nefrotik idiopatik.

Mengonsumsi makanan dengan antigenik rendah, dihubungkan dengan perbaikan proteinuria dan remisi total dalam satu penelitian. Selain itu, sindrom nefrotik idiopatik (SNI) 3-4 kali lebih besar kemungkinannya pada anak dengan human leukocyte antigen (HLA)-DR7. Penderita Sindrom Nefrotik Idiopatik yang sensitive terhadap steroid, juga dihubungkan dengan HLA-B8 dan gen DQB1 dari HAL-DQW2. Insiden SNI yang lebih besar, juga diamati pada anak dengan atopi dan HLA-B12.

Mungkin, perkembangan paling menarik dalam tahun-tahun terakhir adalah pemahaman patofisiologi sindrom nefrotik terjadi di bidang biologi podosit. Barier filtrasi glomerular terdiri dari endotel kapiler terfenestrasi, membrane basemen ekstraseluler dan intercalated podocyte foot processes, terhubung dengan slit diafragma 35-45 nm.

Sindrom nefrotik dihubungkan dengan temuan biopsy berupa fusi (penghapusan) podocyte foot processes. Pemikiran terbaru menyatakan, podocyte berperan penting dalam perkembangan proteinuria. Pemahaman mekanisme barier glomerular, berkembang dengan temuan temuan nephrin, podocin, alpha-actinin-4, CD2AP  dan protein lainnya yang secara intimate dihubungkan dengan podocyte dan diafragma slit.

Nephrin adalah suatu protein transmembran yang terlokalisasi pada diafragma slit, dan dikodekan oleh gen NPHS1 pada kromosom 19, Mutasi pada gen NPHS1, menyebabkan sindrom nefrotik konginetal tipe Finlandia. Podocin adalah komponen protein lainnya dari komponen slit dan dikodekan oleh gen NPHS2 pada kromosom 1. Mutasi pada gen NPHS2, dihubungkan dengan resesif otosomal-SNI resisten steroid dengan temuan FSGS pada saat dilakukan biopsi. Mutasi pada actinin-4, dikode oleh gen ACTN4 pada kromosom 19 dan TRPC6 pada  kromosom 11, dihubungkan dengan bentuk dominan otosomal FSGS.

Ada berbagai kelainan genetik lain, yang dihubungkan dengan sindrom nefrotik. Diantaranya adalah mutasi dalam perkembanyan gen regulator WTI, dihubungkan dengan sindrom Denys-Drash dan sindrom Frasier-suatu sindrom nefrotik konginetal yang dihubungkan dengan male pseudohermaphroditism-Wims tumor (sindrom Denys-Drash), dan gonadoblastoma (sindrom Frasier).

Edema
Penjelasan klasik untuk pembentukan edema adalah penurunan tekanan onkotik plasma, sebagai konsekuensi kadar albumin serum yang rendah, menyebabkan ekstravasasi air plasma ke dalam ruang interstitial. Kontraksi volum plasma, memicu stimulasi renin-angiotensin-aldosteron axis dan hormone antidiuretik. Retensi yang kemudian terjadi pada sodium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan ekstensi edema.

Walau model klasik edema tampak logis, observasi klinis dan ekspreimental tertentu tidak sepenuhnya mendukung konsep tradisional ini. Pertama, volum plasma (VP) tidak selalu menurunkan dan pada kenyataannya, pada sebagian besar orang dewasa, pengukuran VP menunjukkan peningkatan. Hanya pada anak berusia muda dengan MCNS, yang menunjukkan penurunan Volum Plasma (VP).

Model lain pembentukan edema, dikenal sebagai overfill hypothesis. Model ini berpendapat, edema terjadi sebagai akibat defek dalam proses pengelolaan sodium di ginjal. Suatu peningkatan utama penyerapan ulang sodium di ginjal. menyebabkan retensi garam dan air. Akibatnya, terjadi hipertensi. ANP bisa berperan penting dalam mekanisme ini. Berbagai penelitian menunjukkan gangguan respon terhadap ANP dalam sindrom nefrotik.

Tesistensi ANP ini, sebagian, dapat disebabkan aktivitas saraf simpatetik eferen yang terlalu aktif, dan peningkatan pemecahan cyclic guanosine monophosphate di tubular. Mekanisme lain yang dapat berkontribusi pada peningkatan retensi sodium di ginjal, mencakup overaktifitas Natrium - Kalium - ATPase dan renal epithelial sodium channel (RENaC) dalam cortical collecting duct dan perubahan Na+/H+ exchanger NHE3. Yakni dari tidak aktif menjadi aktif dalam tubulus proksimal.

Teori terbaru pembentukan edema menyatakan, proteinuria masif menyebabkan peradangan tubulointerstitial dan pelepasan lokal vasokontriktor dan penghambatan vosodilatasi. Ini menyebabkan penurunan single-nephron glomerular filtration rate dan retensi sodium dan air.

Hiperlipidemia
SNI disertai gangguan metabolisme lipid. Lipoprotein mengandung Apolipoprotein (apo)-B mengalami peningkatan, termasuk very-low-density lipoprotein (VLDL), intermediate-density lipoprotein (IDL), dan low-density lopoprotein (LDL) dan lipoprotein(a), serta peningkatan kolesterol total dan kolesterol LDL. Sementara kolesterol High-density lipoprotein (HDL) normal atau rendah. Peningkatan trigliserida, terjadi pada hipoalbuminuria berat.

Penjelasan tradisional untuk hiperlipidemia pada SNI adalah peningkatan sintesis lipoproteins yang menyertai peningkatan sintesis albumin hepatik karena hipoalbuminemia. Meski demikian, kadar kolestrol serum tidak terpengaruh dengan kecepatan sintesis albumin

Penurunan tekanan onkotik plasma, berperan penting dalam meningkatkan sintesis lipoprotein hepatik, sebagaimana ditunjukkan oleh penurunan hiperlipidemia pada pasien dengan SNI yang mendapatkan infus albumin atau dextran yang juga berkontribusi pada dislipidemia SNI, adalah abnormalitas enzim regulator. Seperti lecithin-cholesterol acyltransferase, lipoprotein lipase dan cholesterol ester transfer protein.

Trombosis
Pasien dengan sindrom nefrotik, berisiko tinggi mengalami trombosis. Ada berbagai foktor yang menyebabkan meningkatnya insiden trombosis. Berbagai faktor berperan dalam meningkatkan insiden trombosis. Abnormalitas yang terjadi pada SNI, meliputi peningkatan aktifasi dan agregasi platelet; peningkatan faktor V, VII, VIII, XIII dan fibrinogen; penurunan antithrombin III, proteins C dan S, dan faktor XI, dan XII. Kemudian; peningkatan aktivitas tissue plasminogen activator dan plasminogen activator inhibitor-1. Sementara itu, imobilitas dan meningkatnya insiden infeksi,  menyebabkan kondisi hiperkoagulabilitas pada SNI.

Infeksi
Penderita SNI berisiko tinggi mengalami infeksi, terutama dengan Streptococus preumonia, SNI dihubungkan dengan kadar immunoglobulin (Ig)G yang rendah, bukan karena keluar melalui urin. Kadar IgG yang rendah, bisa disebabkan terganggunya sintesis. Selain itu, ditemukan adanya peningkatan penurunan faktor B melalui urin, suatu kofaktor jalur pelengkap alternative, yang berperan penting dalam opsonisasi organism yang tidak diselubungi kapsul, seperti S pnemuniae. Gangguan fungsi sel T, juga bisa terjadi di SNI, yang menyebabkan kerentanan terhadap infeksi. Akhirnya, yang digunakan mengobati SNI, seperti kortikosteroid dan agen alkylating, menekan sistim kekebalan dan meningkatkan fisiko infeksi.

Sumber : ETHICAL DIGEST
FOREDI MAKASSAR

0 comments:

Post a Comment