Terapi Testosteron Untuk Andropause
Andropause pada Pria |
Andropause merupakan sekumpulan gejala yang disebabkan penurunan fungsi gonadal, akibat penuaan pada pria. Berbeda dengan yang terjadi pada wanita, pria andropause mengalami penurunan fungsi testikuler dan produksi testosterone secara gradual. Tidak semua pria mengalami sindrom andropause. "Ada penyebab yang mempercepat penurunan hormon testosteron dan hormon-hormon lain. Diantaranya adalah faktor lingkungan , faktor organik dan faktor psikogenik", ujar dr. Nugroho Setiawan Sp. And dari RSUP Fatmawati, Jakarta.
Penurunan ini sebagian besar disebabkan adanya gangguan pada testikuler. Beberapa bukti menunjukkan, komponen pusat (yaitu gangguan pada axis hipotalamik-pituitari-gonadal) mungkin juga memiliki peran. Stress, penyakit, obat-obatan, obesitas, malnutrisi dan kondisi psikiatri cenderung menurunkan produksi testosteron. Meski demikian, penurunan kadar testosteron plasma juga ditemukan pada orang usia lanjut sehat.
Menurunnya produksi testosterone pada pria dengan hipogonadisme, menyebabkan penurunan kekuatan otot, energi dan libido, disfungsi ereksi dan osteoporosis. Untuk mengatasi kondisi penuaan ini, manfaat terapi testosterone kini menjadi perhatian. Adanya efek positif dan negative dari terapi testosteron tidak bisa dijadikan pengobatan rutin untuk orang usia lanjut dengan hipogonadisme.
Terapi Sulih Testosteron
Menurut dr. Nugroho, pemberian testosteron sintetik pada pria andropause mempunyai tujuan mengembalikan parameter testosterone pada kadar normal menengah, meningkatkan masa, kekuatan dan fungsi otot, mempertahankan kepadatan tulang, serta mencegah risiko patah tulang, meningkatkan kognisi dan mood, serta meningkatkan fungsi psikoseksual, Semua ini, pada akhirnya tertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Mempertahankan BMD
Di awal 1948 dilaporkan, terapi testosteron menurunkan ekskresi kalsium total. Selama 40 tahun berikutnya, terapi testosterone selama 6-8 bulan terlihat meningkatkan BMD spinal pada semua pria usia lanjut dengan osteopenia dan hipogonadal (usia rata-rata 60 tahun). Penelitian yang lebih baru menunjukkan, testosteron diketahui tidak hanya meningkatkan BMD spinal (5%), tetapi juga BMD trabecular (14%). Efek manfaat testosteron pada BMD tidak tergantung bagaimana terapi ini diberikan. Tetapi, pemberian secara transdermal dan intramuskular memiliki efektifitas yang sama.
Memperbaiki Fungsi Seksual
Hipogonadisme menyebabkan penurunan fungsi seksual. Kadar testosterone plasma di bawah 2,0 sampai 4,5 ug/L menyebabkan gangguan seksual pada pria . Baik diberikan secara intramuskuler, transdermal atau oral, testosterone memperbaiki performa seksual.
Ketika pria mendapat pengobatan testosterone intramuskuler, kemudian diobati melalui rute transdermal, jumlah ereksi dan rata-rata durasi ereksi, dan rata-rata kekakuan penis meningkat secara signifikan selama periode pengobatan dibandingkan periode ketika terapi dihentikan. Libido, hasrat seksual, orgasme dan kepuasan, secara signifikan menurun selama periode bebas obat dan meningkat ketika pengobatan diteruskan.
Terapi sulih testosteron dihubungkan dengan efikasi yang signifikan, dalam pengobatan hipogonadisme dan disfungsi ereksi. Dalam satu penelitian, pemberian testosterone memperbaiki kemampuan seksual dan performa pada 62% pasien. Sebuah metaanalisa mengindikasikan efikasi 57% untuk terapi sulih testosterone pada pasien dengan Disfungsi Ereksi (DE) dan hipogonadisme primer sampai 44% untuk hipogonadisme sekunder.
Dalam penelitian lain, monoterapi testosterone memperbaiki fungsi ereksi dan abnormalitas vakuler penis pada 36% dan 42% kasus secara berurutan. Umumnya, monoterapi testosterone untuk pengobatan DE efektif pada pria dengan hipogonadisme, jika defisiensi testosterone adalah penyebab satu-satunya. Terapi tidak efektif pada pria dengan DE, hipogonadisme dan patologi lain seperti penyakit vaskuler dan neuropati.
Terapi sulih testosteron mungkin efeknya lebih besar pada meningkatkan hasrat seksual, dari pada fungsi ekreksi. Dalam satu penelitian, normalisasi testosterone serum pada pria hipogonadisme dengan DE, hanya memberikan sementara (1 bulan) pada fungsi ereksi dan kepuasan seksual.
Meningkatkan Kekuatan Otot
Efek anabolik andronen telah diketahui dengan baik. Pria hipogonadal berusia lanjut mengalami peningkatan masa tubuh ramping, kekuatan otot kaki dan kekuatan tubuh bagian atas setelah pemberian testosteron oral atau intramuskuler. Suatu tinjauan sistematis intervensi untuk sarcopenia dan kelemahan otot pada orang dewasa menyimpulkan, terapi sulih testosteron pada orang usia lanjut dengan hipogonadisme hanya sedikit meningkatkan kekuatan otot.
Memperbaiki Anemia
Selama 30 tahun terakhir, banyak hasil penelitian menunjukkan manfaat androden dalam pengobatan anaemias. Misalnya, ketika testosterone diberikan pada pria usia lanjut dengan hipogonadal selama 12 bulan, ada peningkatan signifikan kadar hematokrit.
Manfaat Pada Mood dan Kognitif
Pada orang usia lanjut, banyak penelitian menemukan bahwa pemberian androgen meningkatkan kondisi kejiwaan secara keseluruhan, meningkatkan kognisi spasial dan memiliki efek antidepresan. Satu penelitian menemukan, pemberian tetosterone enanthate dua mingguan pada pria dengan disfungsi ereksi, tidak memiliki efek pada kondisi afektif dan gejala psikologis.
Kontroversi Efek Pada Lipid
Profil lipid serum adalah prediktor penting dari morbiditas dan mortalitas kordiovaskuler. Beberapa penelitian menunjukkan, penggunaan testosterone transdermal menurunkan kadar high density lopoprotein (HDL) dalam darah dan meningkatkan rasio kolesterol total / kolesterol HDL. Peneliti lain menemukan, terapi testosteron memiliki efek manfaat pada metabolisme lipid (menurunkan kolestrol total dalam serum dan fraksi aterogenik low density lipoprotein, tanpa menyebabkan perubahan signifikan pada kolesterol HDL). Yang penting, tidak ada peningkatan angina pektoris, infark miokard atan stroke pada orang usia lanjut yang menjalani terapi testosterone selama 3 tahun.
Meningkatkan Viskositas Darah
Sebanyak 24% pria hipogonadal yang menjalami terapi testosterone, mengalami polycythemia. Peningkatan viskostas darah yang menyertai polycythemia, menambah beban kardiovaskuler pasien. Ini merupakan konsekuensi serius dari terapi ini, pada orang usia lanjut. Sebab itu, banyak ahli menganjurkan phlebotomy atau menurunkan dosis testosterone ketika hematokrit mencapai 51% dan menghentikan pengobatan ketika mencapai 54%.
Kanker Prostat dan Testosteron
Sebagian besar penelitian tidak menunjukkan hubungan konsiten, antara kadar testosterone serum dan kanker prostat. Suatu tinjauan terhadap 25 penelitian, membandingkan kadar testosterone pada 2767 pasien kontrol dan 1481 pasien dengan kanker prostat menemukan, kadar testosterone rata-rata pada penderita saat terdiagnosa kanker sama dengan kelompok kontrol pada 15 penelitian (60%), lebih tinggi pada pasien kanker prostat pada empat penelitian (16%) dan lebih rendah pada penderita kanker dalam enam penelitian(24%).
Suatu meta analisa dari penelitian-penelitian mengenai prediktor hormonal risiko kanker prostate, dilakukan tahun 2000. Mereka menemukan, hanya tiga penelitian kohort dan case-control yang memenuhi kriteria yang digunakan. Data dari 3 penelitian ini disimpulkan, pria dengan kadar testosterone total berada pada kuartil tertinggi 2,34x lebih besar kemungkinannya mengalami kanker prostat dari pada pasien dengan kadar testosterone berada pada kuartil terendah. Kesimpulan meta analisa ini harus dibuat dengan melihat kenyataan, bahwa ada satu penelitian yang memiliki dampak besar pada hasil keseluruhan meta analisa ini.
Suatu tinjauan kuantitatif data dari 8 penelitian epidemiologis prospektif, membandingkan konsentrasi serum rata-rata hormone seks pada pria yang mengalami kanker prostat (n=644) dengan mereka yang bebas kanker (n=1048). Penelitian ini tidak menemukan perbedaan androgen dalam sirkulasi darah, antara pria yang kemudian mengalami kanker prostat dan mereka yang tidak.
Sementara itu dalam penelitian prospektif terkini melibatkan 759 pria dalam Baltimore Longitudinal Study on Aging, 111 pasien mengalami kanker prostat. Tingginya risiko kanker prostat diketahui berhubungan dengan tingginya kadar globulin pengikat hormone menurunkan risiko. Dan, orang dengan eugonadal memiliki risiko yang lebih tinggi dari hipogonadal. Hubungan terbalik antara globulin pengikat hormone dan risiko kanker prostate, juga ditunjukkan pada satu penelitian.
0 comments:
Post a Comment