Berbagai Jenis Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin merupakan salah satu keluhan terbanyak yang dicatat Papyrus Ebers (1550 SM). Pada tahun
1998, Asia Pacific Continence Advisory
Board (APCAB) menyatakan, prevalensi inkontinensia urin pada wanita Asia sekitar
14,6%. Prevalensi ini bervariasi di setiap negara, karena banyak faktor,
diantaranya adalah adanya perbedaan definisi inkontinensia yang digunakan,
populasi sample penelitian dan
metodologi penelitian.
Di Amerika Serikat, saat ini tercatat 13 juta orang mengalami
inkontinensia. Sejuta orang mengalami inkontinensia. Sekitar 11 juta di
antaranya adalah wanita. Sebanyak 25% wanita berusia antara 30-59 tahun, pernah
mengalami inkontinensia urin. Dan pada, orang usia 60 tahun atau lebih, 15-30%
menderita inkontinensia urin. Walau demikian, sampai saat ini data prevalensi
di Indonesia belum ada.
Definisi Inkontinensia
Menurut International
Continence Society,
inkontinensia urin adalah keluarnya urin tanpa sadar yang menimbulkan masalah
sosial dan hygiene, serta secara objektif tampak nyata. Inkontinensia urin
dapat merupakan suatu gejala, tanda atau suatu kondisi. Kondisi ini bukan
merupakan bagian yang normal dari proses penuan, walau prevalensinya meningkat
sejalan dengan peningkatan usia.
Diagnosis banding inkontinensia urin cukup luas, dengan banyak penyebab.
Terkadang lebih dari satu faktor penyebab terlibat, sehingga penegakan
diagnosis dan terapinya menjadi lebih sulit. Membedakan etiologi ini merupakan
hal yang penting, karena setiap kondisi memerlukan pendekatan terapi yang
berbeda.
Klasifikasi
A.
Transient
Incontinence
Inkontinensia Transien sering terjadi pada usia
lanjut. Jenis inkontinensia ini mencakup sepertiga kejadian inkontinensia pada
masyarakat, dan lebih dari setengah pasien inkontinensia yang menjalani rawat
inap (Herzog dan Fultz, 1990). Penyebabnya sering disingkat menjadi DIAPPERS.
B.
True
Incontinence / Established Incontinence
JIka kebocoran menetap setelah penyebab inkontinensia transien dihilangkan, perlu dipertimbangkan penyebab inkontinensia
yang berasal dari saluran kemih bagian bawah. True incontinence dapat
diklasifikasikan berdasarkan gejalanya
menjadi :
1.
Stress incontinence
Genuine stress incontinence (GSI) terjadi saat tekanan intravesikal melebihi tekanan maksimum
uretra, tanpa disertai aktifitas detrusor yang menyertai peningkatan tekanan
intra obdominal biasanya terjadi saat batuk, bersin, tertawa atau aktivitas
fisik tertentu (misalnya; mengedan)
GSI dapat terjadi karena penurunan leher
kandung kemih dan uretra bagian proksimal, hilangnya tahanan uretra atau
keduanya (paling sering). Tekanan uretra yang rendah, didefinisikan sebagai
suatu kondisi dimana tekanan uretra maksimum kurang dari 20cmH2O atau Valsava
leak pressure kurang dari 60cmH2O.
2.
Overflow incontinence
Terjadi karena kandung kemih mengalami distensi
secara berlebihan, sehingga ke titik dimana tekanan intravesikal melebihi
tahanan uretra (tahanan outlet). Tetapi tanpa disertai adanya aktivitas
detrusor atau relaksasi outlet.
Kondisi ini bisa terjadi karena dua hal:
1. Obstruksi
outlet kandung kemih. Contoh Benign
Prostat Hyperplasia pada pria, stenosis uretra pada wanita, kontraktur
leher kandung kemih, pasca operasi anti inkontinen seperti pubovaginal sling atau bladder
neck suspension.
2. Kandung
kemih atoni seperti pada diabetic
autoneuropathy, spinal cord trauma, herniated lumbar disc, peripheral
neuropathy.
Sulit
untuk membedakan antara 2 etilogi tersebut di atas (terutama pada usia lanjut
dengan diabetic, yang disertai pembesaran prostat). Pemeriksaan Pressure-Flow Study (PFS) akan
penampakan bentuk high pressure-low flow
untuk obstruksi prostatik, dan low
pressure-low flow untuk atonia kandung kemih.
Riwayat
klasik untuk kondisi ini adalah adanya nocturnal enuresis. Terkadang, pasien
merasakan hal tersebut sebagai “stressincontinence”. Kecurigaan akan kondisi ini didasarkan pada penemuan adanya
kandung kemih yang berdistensi pada pemeriksaan abdominal dan PVR yang besar.
3.
Urge Incontinence
Tipe inkontinensia ini ditandai adanya
keinginan berkemih yang kuat secara mendadak, tetapi disertai dengan
ketidakmampuan untuk menghambat reflex
miksi. Akibatnya, pasien tidak mampu mencapai toilet pada waktunya. Riwayat
kondisi ini khas, dengan adanya gejala overactive
bladder (frekuensi, urgensi) serta faktor-faktor presipitasi yang dapat
diidentifikasi, seperti cuaca dingin, situasi yang menekan, suara air mengalir.
Urge incontinence dapat disebabkan
karena detrusor myopathy, neuropathy
atau kombinasi keduanya. Bila penyebabnya tidak diketahui, maka disebut idiopathic urge incontinence.
4.
Reflex incontinence
Hilangnya inhibisi sentral dari jaras aferen
atau eferen antara otak dan sacral spinal
cord. Kondisi ini terjadi sebagai akibat kelainan nuerologis susunan saraf
pusat. Merupakan suatu bentuk inkontinensia dengan keluarnya urin (kontraksi
detrusor involunter) tanpa suatu bentuk peringatan atau rasa penuh (sensasi
urgensi). Biasanya terjadi pada pasien stroke, Parkinson, tumor otak, SCI atau
mutiple sclerosis. Adanya relaksasi uretra yang tidak tepat atau beberapa
bentuk abnormalitas sfingter, diduga merupakan penyebab terjadinya hal ini.
5.
Mixed Incontinence
Merupakan inkontinensia urin, kombinasi antara stress dan urge incontinence. Pada kondisi ini, outlet kandung kemih lemah dan
detrusor bersifat overactive. Jadi,
pasien akan mengeluhkan adanya keluarnya urin, saat terjadi peningkatan tekanan
intra abdominal disertai keinginan kuat untuk berkemih. Penyebab yang paling
sering adalah kobinasi hipermobilitas uretra dan intabilitas detrusor. Salah
satu contoh klasik keadaan ini tampak pada pasien meningomyelocele disertai
leher kandung kemih yang inkompeten dan detrusor
hyperreflexic. Terapinya sama dengan terapi
urge incontinence.
Kondisi ini
terjadi pada dua situasi :
1. Saat
terdapat abnormalitas kongenital traktus urinarius bagian bawah, contoh insersi
ureter ektopik di bawah sfingter eksternal. Pasien mengeluhkan adanya dribbling
urin secara terus menerus.
2. Pasca
operasi (lebih sering) contoh wagino-vesical fistula, pasca TURP, pasca
prostactetomy radikal. Terjadi kebocoran terus menerus, dan kandung kemih tidak
lagi mampu melakukan fungsi penyimpanan.
Dengan
mengesampingkan penyebab yang jarang seperti kalainan ekstra uretra dan
gangguan destrusor compliance,
malfungsi traktur urinarius bagian bawah dapat dibedakan menjadi 4 kondisi
secara patofisiologis.
Detrusor Overactivity
(DO)
Ini adalah kondisi dimana urin keluar bukan karena kegagalan penutupan
uretra. Tetapi, karena kontraksi kandung kemih yang tidak dapat diinhibisi
(Abrams etal., 1988). DO merupakan penyebab inkontinensia terbanyak ke dua,
pada dewasa berusia paruh baya dan usia lanjut, baik pada pria ataupun wanita.
Jika kontraksi terjadi karena kerusakan pusat inhibisi di sistem saraf
pusat (kortikal, subkortikal atau lesi spinal suprasacral) seperti pada keadaan
stroke, cedera kepala, penyakit diskus di area cervikal (lesi spinal cord),
sclerosis multipel kondisi ini disebut detrusorhyperreflexia (DH). Pada DH, kandung kemih cenderung mempunyai compliance yang buruk, yang disertai
refluks vesico-ureterik dan resiko kerusakan saluran kemih bagian atas serta
infeksi.
Jika kontraksi terjadi, tanpa adanya lesi UNM, kondisinya disebut detrusor
instability (DI). Penyebabnya mungkin adanya iritan di saluran kemih,
seperti cystitis (interstitial atau
pengaruh radiasi dan komoterapi), tumor kandung kemih, batu pada saluran
kemih). Bila DI terjadi tanpa disertai kelainan lain, disebut DI pimer atau
idiopatik. Bila terdapat penyakit yang mendasarinya, disebut DI sekunder.
Dua penyebab lokal DO yang penting yaitu outlet obstruction dan outletincompetence. (Abrams, 1985; McGuire, 1988). Pada pasien usia lanjut,
perbedaan antara detrusor hyperreflexia
dan instability sering tidak bigitu
jelas. Itu karena kontraksi yang tidka dapat diinhibisi, dapat terjadi secara
insidental karena proses penuaan, setelah stroke yang secara klinis tidak
jelas, berhubungan dengan pembesaran prostat atau pada penderita alzheimer.
Secara tradisional, DO telah lama diduga sebagai penyebab utama inkontinensia, pada usila dengan demensia. Ternyata, penelitian terbaru
menemukan bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara status kognitif dan DO
(Resnick er al.,1989). DO, bisa tampak sebagai salah satu dari 2 kondisi
fisiologis. Yaitu dengan fungsi kontraktil yang dipertahankan atau dengan
fungsi kontraktil yang terganggu (Resnick dan Yalla, 1987). Kondisi yang
terakhir ini dinamakan DHIC (destrusor
hyperractivity with impaired contractility). DHIC adalah kondisi, dimana
kandung kemih overactive sementara pengosongan tidak efisien.
Seseorang diduga mengalami DH jika mempunyai gejala urgensi, frekuensi,
dan urge incontinence. Volume
kobocoran urin dapat berjumlah sedang hingga banyak, sering disertai nokturia
dan inkontinensia, sensasi di bagian sakral dan reflex dipertahankan, kontrol
volunter sfingter anal intak dan PVR tetap rendah atau normal (50ml). Kebocoran
urin biasanya terjadi secara episodic, tetapi sering.
Volume residual yang melebihi 50-100 ml pada pasien dengan DO,
menggambarkan kemungkinan adanya obstruksi outlet. Hal ini dapat terjadi karena
adanya cystocele atau diverticulum yang besar, atau pada pasien dengan penyakit
Parkinson serta spinal cord injury.
Sama dengan situasi untuk urgensi, gejala lain yang mengarah ke DH bisa
tidak terlihat, kecuali didiagnosis lebih teliti. Sebagai contoh, walau tidak
ada DH, frekuensi berkemih yang sering (>7kali perhari pada siang hari),
merupakan hal yang umum terjadi (Diokno et al., 1988). Pasien sering memilih
untuk berkemih lebih sering, untuk mencegah kebocoran. Kondisi frekuensi ini
juga terjadi pada kondisi overflowincontinence, sensory urgensi, kandung kemih dengan compliance buruk,
produksi urin berlebih (contoh diabetes mellitus, hiperkalsemia, atau intake
cairan yang banyak), prostatism, depresi, kecemasan atau alasan sosial.
Sebaliknya, pasien inkontinensia bisa mengurangi minum. Sehingga, walau
menderita DH, mereka tidak sering berkemih. Jadi, signifikansi informasi
tentang frekuensi berkemih atau tidak berkemih, hanya dapat ditentukan oleh
informasi yang lebih dalam.
Pada banyak wanita dengan DH, terdapat komponen postural yang sangat
kuat, kobocoran dapat terjadi bila pasien berdiri. Untuk membedakannya dengan
stress incontinence, dokter harus mencoba untuk merangsang kebocoran urin
dengan melakukan manuver postural selama pemeriksaan. Catat adakah kebocoran
urin dan apakah memerlukan waktu, sebelum terjadi kebocoran. Jumlah urin yang
banyak pada kebocoran yang tertunda selama beberapa detik setelah pasien
berdiri, mengarah ke DH.
Detrusor Underactivity
Merupakan penyebab inkontinensia pada 5-10% kasus. Dapat disebabkan
cedera mekanis saraf (contoh kompresi diskus atau tumor), yang mensarafi
kandung kemih atau karena neuropati otonomik pada diabetes, anemia pernisiosa,
penyakit parkinson, alkoholism atau tabes dorsalis. Kemungkinan lain penyebab
inkontinensia ini, adalah adanya perubahan degeneratif luas sel-sel otot dan
akson tanpa disertai proses regenerative. Detrusor digantikan dengan jaringan
fibrosis dan jaringan ikat (sebagai contoh, pada pria dengan chronic outlet obstruction). Sehingga,
walau obsturksinya telah dihilangkan, kandung kemih gagal mengosongkan secara
normal.
Secara klinis, inkontinensia karena detrusorunderactivity dihubungkan dengan volume PVR yang besar dan overflow incontinence. Ouslander dan
rekannya melaporkan, 25% pasien usia lanjut mempunyai volume PVR lebih dari 100
ml dan 10% kasus mengalami overflow
incontinence, karena volume PVR besar, kapasitas kandung kemih menjadi
kecil dan frekuensi berkemih menjadi sering.
Kebocoran sejumlah kecil urin, sering terjadi pada siang dan malam hari.
Pasien juga dapat merasakan keinginan berkemih, yang kemudian menghilang dan
aliran yang tidak lancar. Sehingga, diperlukan tekanan untuk berkemih dan rasa
tidak puas saat mengosongkan kandung kemih. Jika masalah ini dimediasi oleh
masalah neurologis, maka sensasi perineal, refleks sakral dan kontrol sfingter
anal sering terganggu. Sebelum hal ini dapat didiagnosa, harus dieksklusi dulu
kemungkinan adanya obstruksi outlet.
Outlet Incompetence
Outlet Incompetence mungkin merupakan penyebab urama
inkontimensia pada wanita usia pertengahan dan penyebab kedua terbanyak pada
wanita usia lanjut. Kondisi ini jarang terjadi pada pria, kecuali bila otot
spinkter mengalami kerusakan karena operasi. Outlet incompetence ini secara klinis akan tampak sebagai stress incontinence.
Pada wanita muda terutama yang telah melahirkan, stress incontinance terutama disebabkan karena laksiti otot pelvis
setelah melahirkan. Sehingga, timbul hipermobilitas uretra dan terjadilah
“herniasi” bagian proksimal uretra serta leher kandung kemih, melalui diafragma
urogenital saat terjadi peningkatan tekanan abdominal.
Pergeseran uretra dan leher kandung kemih ke bawah, menjauhi posisi
awalnya di retropubik. Ini mengakibatkan transmisi tekanan abdominal disebarkan
secara tidak merata ke kandung kemih dan uretra, sehingga timbullah stress
incontinence. Jadi, defeknya terjadi pada penyokong uretra bukan pada kekuatan
sfingter.
Sementara pada wanita usia lanjut, stress incontinence juga disebabkan menurunnya tekanan penutupan uretra. Ini bisa
disebabkan penurunan estrogen pasca menopause, sehingga mengakibatkan hilangnya
bulk otot dan perubahan atrophic
uretra serta vagina (penipisan mukosa).
Perubahan ini menyebabkan timbulnya peradangan, sehingga jaringan
menjadi mudah rusak, terjadi penurunan aliran darah periuretra dan selanjutnya
menimbulkan laksiti struktur pelvis dan prolaps
uretra. Kondisi ini disebut juga intrinsic
sphincteric deficiency / sphincter incompetence.
Kondisi hipermobilitas uretra ditandai keluarnya urin dalam jumlah
sedikit sampai sedang, pada siang hari. Inkontinensia pada malam hari, tidak
begitu sering. Jumlah volume PVR kecil tanpa adanya pooling urin pada cystocele
besar. Dapat dikatakan bahwa stressincontinence adalah keluarnya urin bila dilakukan stress maneuver, tanpa adanya distensi kandung kemih. Inkontinensia
ini terjadi biasanya pada posisi berdiri dan tidak terjadi di tempat tidur pada
malam hari.
Outlet Obstuction
Outlet Obstruction merupakan penyebab ke dua paling
banyak untuk pria tua dengan inkontinensia, dan jarang terjadi pada wanita.
Pada pria, biasanya disebabkan hipertrofi prostat, walau sebagian besar pria
yang mengalami obstruksi tidak selalu menjadi inkontinen. Dapat juga disebabkan
adanya striktur uretra.
Gejalanya akan tampak sebagai frekuensi , nokturia, urgensi, atau
hesitansi, dribbling setelah berkemih
dan retensi urin. Jika timbul DO sekunder secara klinis, akan tampak sebagai urge incontinence. Dan jika timbul dekompensasi
detrusor, akan timbul sebagai overflow
incontinence. Jika obstruksi terjadi karena penyakit neurologis, sering hal
ini dihubungkan dengan lesi spinal cord.
Pada situasi ini, jalur ke pusat miksi pontine terganggu, sehingga
outlet akan berkontraksi secara simultan saat kandung kemih berkontraksi,
sihingga menyebabkan timbulnya obstruksi outlet berat yang dikenal dengan nama
“Christmas tree bladder”, hydronephrosis dan gagal ginjal. Kondisi ini juga
dikenal sebagai detrusor-sfingter dyssynergia.
Lebih sering terjadi adalah kondisi obstruksi, yang disebabkan karena
pembesaran prostat, karsinoma, striktur uretra, cystocele yang besar yang
mengalami prolaps dan menekan urethra jika pasien mengedan (McGuire, 1981b).
Secara klinis, sangat bermanfaat untuk membagi ulang 4 patofisiologi
dasar ini menjadi 2 kategori :
- Gangguan pada penyimpanan (DO atau Outlet Incompetence) Kondisi dimana kandung kemih mengosongkan tidak pada waktu yang tepat. Kandung kemih dalam kondisi normal.
- Gangguan pada pengeluaran (detrusor underactivity atau outlet obstruction dengan dekompensasi detrusor). Kondisi dimana kandung kemih mengosongkan urin secara tidak lengkap, sehingga terjadi akumulasi urin yang progresif dan timbullah overflow. Pada kondisi ini, kandung kemih mengalami distensi.
Sumber : Ethical Digest
0 comments:
Post a Comment