Overactive Bladder (OAB)
Overactive Bladder |
Overactive Bladder (OAB) didefinisikan International Cotinence Society (ICS) sebagai suatu kumpulan gejala yang meliputi urgensi berkemih dengan atau tanpa urge incontinence. Biasanya, kondisi ini disertai peningkatan frekuensi berkemih dan nokturia. Gejala-gejalanya bisa muncul tanpa ada faktor-faktor patologis atau metabolic, yang menjelaskan penyebabnya.
Sementara gejala-gejala urgensi berkemih dan frekuensi saja memiliki dampak negative signifikan pada kualitas hidup pasien, urge incontinence bahkan memiliki dampak yang lebih mengganggu. Meski demikian, pasien dengan Overactive Bladder (OAB) 'Basah' sering tidak mendapatkan bantuan medis. Ketika mencari pertolongan medis, mereka sering tidak mendapatkannya.
Prevalensi
Berdasarkan survey berbasis populasi pada 16.776 pria dan wanita berusia 40 tahun dan lebih tua yang dilakukan oleh Milsom et al. di 6 negara, melalui telepon atau wawancara langsung, prevalensi Overactive Bladder (OAB) di Eropa diperkirakan 15,6 dan 17,4% untuk pria dan wanita secara berurutan. Prevalensi secara keseluruhan adalah 16,6%. Prevalensi gejala peningkatan frekuensi, urgensi dan urge incontinence secara individu lebih rendah. Prevalensi urge incontinence, baik sebagai gejala tersendiri atau bersama dengan gejala lain adalah 9%. Sebab itu, setengah kasus Overactive Bladder (OAB) adalah 'Basah'.
Overactive Bladder (OAB) adalah suatu penyakit dengan etiologi dan patofisiologis yang multifaktorial. Proses berkemih melibatkan sistem saraf pusat dan oronomik peripheral, somatic dan inervasi aferen sensor saluran kemih bawah, kandung kemih dan spinkter. Kandung kemih normal menyimpan urin dalam tekanan rendah, samapai kandung kemih penuh terisi. Ketika berkemih, tekanan uretra menurun dan kontrasi otot detrusor mengosongkan kandung kemih. Gejala-gejala Overactive Bladder (OAB) biasanya berhubungan dengan overaktivitas otot detrusor. Overaktivitas otot detrusor-neurogenik, miogenik atau idiopatik menyebabkan urgensi dan inkontinensia urgensi.
Berbagai jalur saraf eferen dan aferen dan neurotransmitter, terlibat dalam proses penyimpanan urin dan pengosongan kandung kemih. Neurotransmitter pusat, seperti glutamate, serotonin dan dopanime, diperkirakan ikut berperan dalam proses berkemih. Glutamate adalah suatu neurotransmitter eksitatori dalam jalur-jalur yang mengendalikan saluran kemih bagian bawah. Jalur serotonergik memfasilitasi penyimpanan urin. Jalur dopaminergik memiliki efek inhibitori dan eksitatori pada saat berkemih. Reseptor dopamin D1, tampak berperan dalam menekan aktivitas kandung kemih, sementara rseptor dopamine D2 tampak memfasilitasi proses berkemih.
Asetilkolin, yang merupakan neurotransmitter peripheral predominan yang bertanggung jawab untuk kontraksi detrusor, dilepaskan dari terminal saraf parasimpatik dan mengikat pada reseptor muskarinik pada otot detrusor. Sudah diketahui lima subtipe reseptor muskarinik. Reseptor muskarinik M3, tampak bertanggung jawab untuk kontraktilitas detrusor pada kandung kemih normal.
Peran reseptor M2 pada kandung kemih manusia, masih belum diketahui. Data dari penelitian-penelitian berskala kecil menunjukkan, up regulasi reseptor M2 pada kondisi patogenik tertentu menunjukkan bahwa reseptor ini memiliki peran pada overaktifitas detrusor, yang dihubungkan dengan obstruksi dan cidera tulang belakang.
Pengikatan acetylcholine pada reseptor M3, mengaktifasi posfolipase C dengan memasangkannya dengan protein G, Aksi ini menyebabkan pelepasan kalsium dari sarcoplasmic reticulum dan kontraksi otot halus kandung kemih. Peningkatan sensitifitas terhadap stimulasi reseptor muskarinik, menyebabkan Overactive Bladder (OAB). kebocoran acetylcholine dari terminal saraf parasimpatik, menyebabkan mikromotion detrusor, yang dapat mengaktifkan serat aferen sensori dan mengakibatkan sansasi urgensi.
Saraf aferen sensor dapat juga berperan pada OAB. Aktifasi serat sensor quiescent C, secara normal berperan dalam menghasilkan gejala OAB pada individu dengan kondisi neurologis dan gejala lainnya. Ada beberapa jenis reseptor yang teridentifikasi pada saraf sensori, dapat berperan pada gejala OAB, yaitu vanilloid, purinergic, neurokinin A dan reseptor faktor pertumbuhan saraf. Senyawa senyawa seperti asam nitrat, protein gen kalsitonin dan faktor neutropik yang berasal dari otak, juga dapat berperan dalam serat aferen sensori pemodulasi pada kandung kemih.
Beberapa faktor risiko dihubungkan dengan Overactive Bladder (OAB). Orang kulit putih, penderita diabetes yang bergantung insulin dan individu dengan depresi, 3 kali lebih besar kemungkinannya mengalami Overactive Bladder (OAB). Individu lain yang berisiko tinggi, meliputi usia di atas 75 tahun penderita arthritis, pengguna terapi sulih hormon dan mereka dengan IMT yang tinggi.
Terapi Potensial Untuk OAB
Terapi Potensial Untuk OAB
OAB dan Inkontinensia urin sebenarnya bisa diatasi dengan strategi non farmakologis atau farmakologi. Terapi non farmakologis meliputi perubahan gaya hidup, terapi perilaku, stimulasi listrik dinding pelvis dan prosedur operasi, seperti meningkatkan sitoplasti. Saat ini, yang menjadi tren adalah mengombinasikan antara terapi farmakologis dengan beberapa jenis terapi perilaku.
Pemberian terapi sangat individual karena faktor di luar traktur urinarius bagian bawah, sering mempengaruhi hasil intervensi. Misalnya, ada dua penderita OAB diterapi , salah satunya menderita dimensia. Maka penanganan pada penderita dimensia berat dan jarang meninggalkan tempat tidur, akan diterapi berbeda dengan pasien lain yang masih dapat melakukan ambulansi dan kemampuan kognitifnya masih baik.
Pada prinsipnya, manajemen terapi untuk pasien dengan disfungsi berkemih adalah :
Pemberian terapi sangat individual karena faktor di luar traktur urinarius bagian bawah, sering mempengaruhi hasil intervensi. Misalnya, ada dua penderita OAB diterapi , salah satunya menderita dimensia. Maka penanganan pada penderita dimensia berat dan jarang meninggalkan tempat tidur, akan diterapi berbeda dengan pasien lain yang masih dapat melakukan ambulansi dan kemampuan kognitifnya masih baik.
Pada prinsipnya, manajemen terapi untuk pasien dengan disfungsi berkemih adalah :
- Mencegah komplikasi saluran kemih bagian atas (misalnya, kemunduran fungsi ginjal, hidronephrosis, renal calculi, pyelonephritis) dan saluran kemih bagian bawah (misalnya cystitis, batu kandung kemih, vesicoureteral reflux).
- Membuat sautu program manajemen kandung kemih, hingga pasien dapat berintegrasi kembali secara mudah ke masyarakat.
Pendekatan awalnya adalah mengidentifikasi dan menerapi penyebab yang reversibel. Karena banyak penyebabnya, kondisi ini tidak dapat diterapi secara spesifik. Terapi biasanya bersifat simptomatik. OAB bisa diterapi menggunakan obat atau modifikasi perilaku. Pilihan awal paling baik untuk terapi ini, mungkin adalah kombinasi dari dua terapi tersebut.
0 comments:
Post a Comment