Masalah Utama Diabetes
Perut gendut tanda sindroma metabolik |
Resiko utama berkembangnya diabetes adalah terjadinya kerusakan sel beta secara progresif. Obat antidiabetes mampu mengendalikan gula darah tapi, sejalan dengan waktu, obat ini menjadi tidak aktif.
Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) meningkat dengan cepat pada dekade terakhir, sampai lebih 40%. Peningkatan prevalensi obesitas lebih 60% dalam periode yang sama, berhubungan erat dengan perkembangan DM tipe 2. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama kematian pada penderita DM tipe 2, yaitu sebesar 60-80%.
Diramalkan, pada tahun 2025 nanti akan terjadi peningkatan jumlah penderita diabetes sampai 72% dari tahun 2003. Misalnya, di negara-negara Eropa akan terjadi peningkatan dari 48,4 juta (2003) menjadi 58,6 juta (2025), atau meningkat 21%. Sementara di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan ada peningkatan dari 39,3% juta (2003) menjadi 81,6 (2025). Berarti, akan ada peningkatan sampai 108%. Maka, penyakit ini perlu diwaspadai, terutama berkenaan dengan komplikasi yang ditimbulkannya.
Patofisiologi DM tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 adalah kelainan yang bersifat kronis, ditandai adanya kelainan permanen dari sistem metabolisme tubuh yang berupa tingginya kadar gula darah (hiperglikemia). Hal ini terjadi karena insulin tubuh tidak dapat bekerja secara efektif. Atau, tubuh (sel Beta pankreas) tidak mampu menghasilkan hormon insulin yang memadai. Atau, kedua-duanya.
Dengan demikian, kelainan patologi yang mendasari yang terjadi pada penderita diabetes adalah kegagalan memproduksi insulin (defisiensi insulin). Atau kegagalan memanfaatkan insulin (resistensi insulin) atau keduanya, akan menimbulkan peningkatan kadar gula darah serta hasil metabolisme lainnya.
Patofisiologi DM tipe 2 sangat kompleks. Awalnya, terjadi kegagalan aksi insulin dalam upaya menurunkan gula darah, mengakibatkan sel beta pankreas mensekresikan insulin lebih banyak untuk mengatasi kekurangan insulin. Dalam keadaan ini, toleransi glukosa dapat masih normal dan suatu saat akan terjadi gangguan dan menyebabkan gangguan toleransi glukosa (IGT) dan belum terjadi diabetes.
Selanjutnya, bila keadaan resistensi insulin bertambah berat, disertai beban glukosa terus menerus, sel beta pankreas lama kelamaan tidak mampu mensekresikan insulin untuk menurunkan kadar gula darah. Terlebih, peningkatan glukosa hepatik dan penurunan penggunaan glukosa oleh otot dan lemak mempengaruhi kadar gula darah puasa dan pospandrial yang menjadi karakteristik DM tipe 2. Akhirnya, sekresi insulin oleh sel beta pankreas menurun dan terjadi hiperglikemia.
Dalam perjalanan terjadi DM tipe 2, sel beta pankreas pada awalnya mampu melakukan adaptasi terhadap perubahan sensitifitas terhadap insulin. Mekanisme adaptasi ini diduga melalui peningkatan proses neogenesis, atau pembentukan sel sel baru. Atau, terjadi peningkatan kelompok sel beta menjadi hipertrofi, atau mungkin akan terjadi kehilangan sel beta melalui proses apoptosis bahkan terjadi nekrosis. Pada keadaan terakhir ini, sel beta sudah tidak mampu mensekresikan insulin untuk menurunkan kadar gula darah.
Disfungsi sel beta dalam sekresi insulin, merupakan salah satu dari 4 gangguan metabolik pada penderita DM tipe 2. Gangguan metabolik lain adalah obesitas, kegagalan aksi insulin dan peningkatan glukosa endogen (EGO). Kenyataannya, disfungsi sel beta, kegagalan aksi insulin dan obesitas merupakan substansi gangguan metabolic utama yang terjadi pada individu sebelum terdiagnosa menderita DM tipe 2, yang berpengaruh dalam perkembangan toleransi glukosa normal (NGT) sampai terjadi gangguan toleransi glukosa (IGT).
Pada penelitian cross-sectional, individu dengan IGT umumnya lebih sering ditemukan pada keadaan obes dan resistensi insulin dibanding pada individu NGT. Sedangkan pada IGT, EGO menggambarkan gangguan produksi glukosa dari organ hepar tidak terjadi peningkatan. Kegagalan sekresi insulin pada IGT sebagai penyebab terjadi peningkatan glukosa darah, masih sering dipertanyakan. Beberapa penelitian mengemukakan, terdapat respon yang rendah pada awal sekresi yang terjadi pada beberapa menit setelah diberikan glukosa, baik intravena maupun oral pada insididu IGT dibanding pada NGT.
Respon awal sekresi insulin yang rendah, merupakan tahap awal perkembangan diabetes pada individu yang mempunyai faktor resiko. Meskipun demikian, dapat ditemukan juga keadaan sekresi insulin yang normal bahkan meningkat pada NGT maupun IGT. Hal yang sama juga didapatkan adanya respon sekresi insulin fase akhir yang rendah atau lebih tinggi apda IGT dibandingkan NGT. Hal ini menjadi menarik, dalam upaya menggambarkan patogenesis Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 dan menjelaskan, mengapa terdapat individu dengan IGTyang tidak berkembang menjadi DM tipe 2.
Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian yang dilakukan secara prospektif pada individu non-diabetes mempunyai karakteristik gangguan metabolik tunggal. Dan, dalam beberapa tahun berkembang menjadi diabetes. Hal ini menggambarkan, metabolik abnormal merupakan faktor predisposisi diabetes. Dalam penelitian ini, keadaan obesitas dan resistensi insulin diprediksi akan berkembang menjadi diabetes. Sedangkan EGO basal tidak menunjukkan kearah prediksi perkembangan diabetes. Respon sekresi insulin awal, merupakan prediksi terjadi diabetes, walau tidak semua penelitian menemukan hal tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa dua keadaan, aksi insulin dan sekresi insulin, merupakan faktor predisposisi pada NGT menjadi diabetes.
Disfungsi Sel Beta, Faktor Risiko Utama Diabetes
United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) memperlihatkan adanya kemunduran progresif fungsi sel beta, pada pasien DM tipe 2, walau sudah diberi pengobatan insulin, metformin dan glibenclamide. Bahkan, fungsi sel pankreas diketahui tersisa 50% saat diagnosis, terlepas dari derajat resistensi insulin yang terjadi. Diperkirakan, penurunan fungsi sel beta sudah terjadi 10-12 tahun sebelum diagnosis, dan memburuk bersamaan meningkatnya kadar glukosa plasma.
Dalam berbagai penelitian, terutama yang dilakukan Butler et al. yang mengevaluasi jaringan pankreas dari 124 hasil otopsi pada orang obese dengan Impaired Fasting Glucose (IFG), obese dengan DM tipe 2, dan ramping non diabetes. Hasilnya, penurunan masa sel beta pada Impaired Glucose Tolerance (IGT) lebih besar pada DM tipe 2 dibandingkan kelompok kontrol non diabetes.
Hal ini disebabkan meningkatnya apoptosis sel beta, sementara pembentukan sel beta tetap normal atau meningkat. Juga, deposit amyloid sel pankreas ditemukan pada mayoritas kasus pasien DM tipe 2, dibandingkan pada kelompok kontrol non diabetes. Tetapi, tidak meningkat pada pasien IGT obese.
Epidemiologi
Fungsi sel beta, sebagaimana ditunjukkan pada UKPDS, sudah menurun saat diagnosis. Penurunan ini dihubungkan dengan buruknya kendali gula darah, bersamaan dengan lamanya durasi diabetes. Dari UKPDS juga terlihat pentingnya mempertahankan fungsi sel beta, dengan terapi kombinasi.
Setelah 6 tahun dengan monoterapi sulfonilurea, 62% pasien dengan fungsi sel beta baseline di bawah 27% membutuhkan terapi tambahan untuk mencapai target gula darah. Sedangkan, hanya 28% dari pasien tersebut dengan fungsi sel beta di atas 55% yang membutuhkan terapi tambahan.
The Skaraborg Hypertension and Diabetes Project, suatu penelitian follow up berbasis komunitas di Swedia, yang melibatkan 376 pasien dengan DM tipe 2 menemukan, kadar glycated hemoglobin (HbA1c) meningkat bersamaan dengan waktu. Hal ini dihubungkan dengan penurunan fungsi sel beta. Kadar HbA1c di atas 7% atau lebih, dihubungkan dengan gangguan fungsi sel beta (HOMA) dan lamanya durasi diabetes, tanpa memandang usia dan jenis kelamin.
Penurunan Massa Sel Beta
Pemahaman mengenai perubahan-perubahan yang terjadi pada sel beta, didapatkan terutama pada penelitian-penelitian menggunakan model binatang yang menderta diabetes. Penelitian-penelitian tersebut mendukung penurunan massar sel beta sebagai faktor yang berkontribusi terhadap berkurangnya kemampuan sekresi insulin, pada DM tipe 2. Sebagian besar sinyal yang mengatur keseimbangan replikasi sel-sel yang ada/neogenesis dari sel punca dan kematian sel melalui nekrosis atau apoptosis.
Yang jelas, menghilangnya kemampuan proligerasi atau meningkatnya apoptosis atau keduanya menyebabkan turunnya masa sel beta. Ada bukti, meningkatnya apotosis sel beta pada Zucker diabetic fatty rat (ZDF), suatu model binatang dengan DM tipe 2 menyebabkan penurunan masa sel beta yang terlihat pada binatang-binatang ini.
Terapi Agresif Lebih Awal
mengendalikan kadar gula darah dan mencegah atau memperlambat kerusakan sel beta, adalah tujuan pengobatan diabetes. Para ahli yang berkecimpung dalam pengobatan diabetes, menganjurkan pendekatan yang lebih agresif yang dapat membantu pasien mencapai target gula darah yang diinginkan. Terapi lebih agresif yang bertujuan mengatasi resistensi insulin dan sekresi insulin yang adekuat pada penderita, diyakini bisa lebih efektif daripada pendekatan "stepwise" yang saat ini banyak digunakan.
Pendekatan standar yang saat ini banyak dilakukan adalah mengobati pasien DM tipe 2 yang baru terdiagnosa, dengan anjuran pengaturan pola makan dan olah raga diikuti dengan pemberian obat-obatan antidiabetes. Namun, saat didiagnosa, sebagian besar pasien telah menderita diabetes selama bertahun-tahun dan telah mengalami komplikasi karena penyakit yang mereka derita.
DM tipe 2 adalah suatu penyakit kronis, yang disebabkan ketidakmampuan tubuh menggunakan insulin (resistensi insulin) dan/atau memproduksi insulin. Walau ada banyak obat antidiabetes, tidak ada satu pun obat yang bisa mengatasi kedua mekanisme patologis penyakit tersebut. Bersamaan dengan waktu, diabetes yang tidak mendapatkan pengobatan atau tidak terkendali dengan baik, dapat menyebabkan komplikasi serius. Termasuk penyakit jantung, serangan jantung, stroke, penyakit ginjal, kerusakan saraf dan kebutaan.
Keterbatasan Agen Antidiabetes Oral
Kemunduran kendali gula darah secara gradual, disebabkan penurunan fungsi dan masa sel beta secara progresif. Ini tetap menjadi tantangan utama dalam penatalaksanaan DM tipe 2.Walau obat-obatan antidiabetes orang yang ada saat ini efektif di awal perjalanan penyakit DM tipe 2, sebagian pasien akhirnya membutuhkan insulin karena kerusakan sel beta yang berlangsung progresis.
Guideline pengobatan dari ACE/AACE, meninjau manfaat dan keterbatasan pengobatan yang ada saat ini sebagai monoterapi. Semua agen-agen ini efektif menurunkan kadar glukosa darah, dan sebagian besar juga menurunkan kadar AIC 1-2%, dengan perbaikan yang lebih besar pada pasien dengan kadar AIC awal yang lebih besar. Efek samping paling banyak ditemukan dari penggunaan obat-obatan ini adalah hipoglikemia (sulfonylureas, glinides), efek samping pada saluran cerna (biguanides, alfa glucosidase inhibitors), penambahan berat badan (sulfonylureas, thiazolidinediones) dan retensi cairan (thiazolidinediones).
Walau obat-obatan tersebut memiliki efikasi yang baik menurunkan hiperglikemia, tidak ada satu pun dari agen ini (termasuk agen-agen yang baru) yang dapat menahan perkembangan penyakit itu sendiri. Beberapa penelitian yang dipublikasi menunjukkan, beberapa agen hipoglikemi oral dapat memperlambat perkembangan prediabetes menjadi diabetes. Selain itu, penelitian Adult Diabetes Outcome Progression Trial (ADOPT) menunjukkan bahwa durabilitas kendali gula darah dengan obat hipoglikemi oral pada pasien DM tipe 2 terbatas. Dengan thiazolidinedione, rosiglitazone, memiliki efek yang lebih menetap dari pada metformin atau sulfonylurea.
Pada penelitian lainnya yang secara acak memberikan pioglitazone (45 mg/d) atau rosiglitazones (8 mg/d) menunjukkan, kedua obat dari kelas thiazolidinediones itu dapat memperbaiki fungsi sel beta, ketika dinilai berdasarkan sekresi insulin/indeks resistensi insulin. Namun, agen-agen ini memiliki keterbatasan karena efek sampingnya, misalnya, pada satu penelitian terbukti, pioglitazone dan rosiglitazone menyebabkan peningkatan risiko hipoglikemi, penambahan berat badan, edema bahkan gagal jantung kongestif dan disfungsi hati.
Sebuah meta analisa dari penelitian klinis menunjukkan, rosiglitazone berhubungan dengan meningkatnya risiko infak miokard dan kematian akibat kardiovaskuler. Tetapi penelitian lain, tidak mendukung hubungan ini. Meski begitu, konsensus ADA dan EASD mengenai penanganan hiperglikemia pada pasien DM tipe 2 mewaspadai risiko gagal jantung kongestif dan risiko infark miokard, pada penggunaan rosiglitazone pada pasien dengan penyakit jantung. Guideline ini juga menyertakan penggunaan penghambat dipeptidyl-peptidase 4 (DPP-4) sebagai pilihan lini kedua terapi oral.
Sumber : ETHICAL DIGEST
Disfungsi Sel Beta, Faktor Risiko Utama Diabetes
United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) memperlihatkan adanya kemunduran progresif fungsi sel beta, pada pasien DM tipe 2, walau sudah diberi pengobatan insulin, metformin dan glibenclamide. Bahkan, fungsi sel pankreas diketahui tersisa 50% saat diagnosis, terlepas dari derajat resistensi insulin yang terjadi. Diperkirakan, penurunan fungsi sel beta sudah terjadi 10-12 tahun sebelum diagnosis, dan memburuk bersamaan meningkatnya kadar glukosa plasma.
Dalam berbagai penelitian, terutama yang dilakukan Butler et al. yang mengevaluasi jaringan pankreas dari 124 hasil otopsi pada orang obese dengan Impaired Fasting Glucose (IFG), obese dengan DM tipe 2, dan ramping non diabetes. Hasilnya, penurunan masa sel beta pada Impaired Glucose Tolerance (IGT) lebih besar pada DM tipe 2 dibandingkan kelompok kontrol non diabetes.
Hal ini disebabkan meningkatnya apoptosis sel beta, sementara pembentukan sel beta tetap normal atau meningkat. Juga, deposit amyloid sel pankreas ditemukan pada mayoritas kasus pasien DM tipe 2, dibandingkan pada kelompok kontrol non diabetes. Tetapi, tidak meningkat pada pasien IGT obese.
Epidemiologi
Fungsi sel beta, sebagaimana ditunjukkan pada UKPDS, sudah menurun saat diagnosis. Penurunan ini dihubungkan dengan buruknya kendali gula darah, bersamaan dengan lamanya durasi diabetes. Dari UKPDS juga terlihat pentingnya mempertahankan fungsi sel beta, dengan terapi kombinasi.
Setelah 6 tahun dengan monoterapi sulfonilurea, 62% pasien dengan fungsi sel beta baseline di bawah 27% membutuhkan terapi tambahan untuk mencapai target gula darah. Sedangkan, hanya 28% dari pasien tersebut dengan fungsi sel beta di atas 55% yang membutuhkan terapi tambahan.
The Skaraborg Hypertension and Diabetes Project, suatu penelitian follow up berbasis komunitas di Swedia, yang melibatkan 376 pasien dengan DM tipe 2 menemukan, kadar glycated hemoglobin (HbA1c) meningkat bersamaan dengan waktu. Hal ini dihubungkan dengan penurunan fungsi sel beta. Kadar HbA1c di atas 7% atau lebih, dihubungkan dengan gangguan fungsi sel beta (HOMA) dan lamanya durasi diabetes, tanpa memandang usia dan jenis kelamin.
Penurunan Massa Sel Beta
Pemahaman mengenai perubahan-perubahan yang terjadi pada sel beta, didapatkan terutama pada penelitian-penelitian menggunakan model binatang yang menderta diabetes. Penelitian-penelitian tersebut mendukung penurunan massar sel beta sebagai faktor yang berkontribusi terhadap berkurangnya kemampuan sekresi insulin, pada DM tipe 2. Sebagian besar sinyal yang mengatur keseimbangan replikasi sel-sel yang ada/neogenesis dari sel punca dan kematian sel melalui nekrosis atau apoptosis.
Yang jelas, menghilangnya kemampuan proligerasi atau meningkatnya apoptosis atau keduanya menyebabkan turunnya masa sel beta. Ada bukti, meningkatnya apotosis sel beta pada Zucker diabetic fatty rat (ZDF), suatu model binatang dengan DM tipe 2 menyebabkan penurunan masa sel beta yang terlihat pada binatang-binatang ini.
Terapi Agresif Lebih Awal
mengendalikan kadar gula darah dan mencegah atau memperlambat kerusakan sel beta, adalah tujuan pengobatan diabetes. Para ahli yang berkecimpung dalam pengobatan diabetes, menganjurkan pendekatan yang lebih agresif yang dapat membantu pasien mencapai target gula darah yang diinginkan. Terapi lebih agresif yang bertujuan mengatasi resistensi insulin dan sekresi insulin yang adekuat pada penderita, diyakini bisa lebih efektif daripada pendekatan "stepwise" yang saat ini banyak digunakan.
Pendekatan standar yang saat ini banyak dilakukan adalah mengobati pasien DM tipe 2 yang baru terdiagnosa, dengan anjuran pengaturan pola makan dan olah raga diikuti dengan pemberian obat-obatan antidiabetes. Namun, saat didiagnosa, sebagian besar pasien telah menderita diabetes selama bertahun-tahun dan telah mengalami komplikasi karena penyakit yang mereka derita.
DM tipe 2 adalah suatu penyakit kronis, yang disebabkan ketidakmampuan tubuh menggunakan insulin (resistensi insulin) dan/atau memproduksi insulin. Walau ada banyak obat antidiabetes, tidak ada satu pun obat yang bisa mengatasi kedua mekanisme patologis penyakit tersebut. Bersamaan dengan waktu, diabetes yang tidak mendapatkan pengobatan atau tidak terkendali dengan baik, dapat menyebabkan komplikasi serius. Termasuk penyakit jantung, serangan jantung, stroke, penyakit ginjal, kerusakan saraf dan kebutaan.
Keterbatasan Agen Antidiabetes Oral
Kemunduran kendali gula darah secara gradual, disebabkan penurunan fungsi dan masa sel beta secara progresif. Ini tetap menjadi tantangan utama dalam penatalaksanaan DM tipe 2.Walau obat-obatan antidiabetes orang yang ada saat ini efektif di awal perjalanan penyakit DM tipe 2, sebagian pasien akhirnya membutuhkan insulin karena kerusakan sel beta yang berlangsung progresis.
Guideline pengobatan dari ACE/AACE, meninjau manfaat dan keterbatasan pengobatan yang ada saat ini sebagai monoterapi. Semua agen-agen ini efektif menurunkan kadar glukosa darah, dan sebagian besar juga menurunkan kadar AIC 1-2%, dengan perbaikan yang lebih besar pada pasien dengan kadar AIC awal yang lebih besar. Efek samping paling banyak ditemukan dari penggunaan obat-obatan ini adalah hipoglikemia (sulfonylureas, glinides), efek samping pada saluran cerna (biguanides, alfa glucosidase inhibitors), penambahan berat badan (sulfonylureas, thiazolidinediones) dan retensi cairan (thiazolidinediones).
Walau obat-obatan tersebut memiliki efikasi yang baik menurunkan hiperglikemia, tidak ada satu pun dari agen ini (termasuk agen-agen yang baru) yang dapat menahan perkembangan penyakit itu sendiri. Beberapa penelitian yang dipublikasi menunjukkan, beberapa agen hipoglikemi oral dapat memperlambat perkembangan prediabetes menjadi diabetes. Selain itu, penelitian Adult Diabetes Outcome Progression Trial (ADOPT) menunjukkan bahwa durabilitas kendali gula darah dengan obat hipoglikemi oral pada pasien DM tipe 2 terbatas. Dengan thiazolidinedione, rosiglitazone, memiliki efek yang lebih menetap dari pada metformin atau sulfonylurea.
Pada penelitian lainnya yang secara acak memberikan pioglitazone (45 mg/d) atau rosiglitazones (8 mg/d) menunjukkan, kedua obat dari kelas thiazolidinediones itu dapat memperbaiki fungsi sel beta, ketika dinilai berdasarkan sekresi insulin/indeks resistensi insulin. Namun, agen-agen ini memiliki keterbatasan karena efek sampingnya, misalnya, pada satu penelitian terbukti, pioglitazone dan rosiglitazone menyebabkan peningkatan risiko hipoglikemi, penambahan berat badan, edema bahkan gagal jantung kongestif dan disfungsi hati.
Sebuah meta analisa dari penelitian klinis menunjukkan, rosiglitazone berhubungan dengan meningkatnya risiko infak miokard dan kematian akibat kardiovaskuler. Tetapi penelitian lain, tidak mendukung hubungan ini. Meski begitu, konsensus ADA dan EASD mengenai penanganan hiperglikemia pada pasien DM tipe 2 mewaspadai risiko gagal jantung kongestif dan risiko infark miokard, pada penggunaan rosiglitazone pada pasien dengan penyakit jantung. Guideline ini juga menyertakan penggunaan penghambat dipeptidyl-peptidase 4 (DPP-4) sebagai pilihan lini kedua terapi oral.
Sumber : ETHICAL DIGEST
0 comments:
Post a Comment